Tuesday, December 22, 2009

ASKEP GANGGUAN RETINOBLASTOMA

DEFINISI

  • Tumor ganas pada retina (Lapisan nukleus)
  • Merupakan kanker intraokular yang paling umum
  • Kanker pertama yang diduga disebabkan oleh kelainan genetik (herediter): bilateral
  • Dapat terjadi dengan atau tanpa riwayat keluarga dengan retinoblastoma: unilateral

TANDA DAN GEJALA
  • Leukoria (Cat’s eye reflek)
  • Strabismus
  • Mata merah dan nyeri
  • Gangguan penglihatan
  • Iris pada kedua mata memiliki warna yang berlainan
  • Bisa terjadi kebutaan

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

  • Pemeriksaan mata dalam keadaan pupil melebar
  • CT-scan kepala
  • USG mata (ekoensefalogram kepala dan mata)
  • Pemeriksaan cairan cerebrospinal
  • Pemeriksaan sumsum tulang
  • Pemeriksaan darah: Rb gene, serum carcinoembryonik antigen (CEA), serum alpha fetoprotein.

Klasifikasi Retinoblastoma Menurut Reesellsworth

Group I:
a. Tumor tunggal, <4>4 dd pd/dibelakang equator

Group II:
a. Tumor tunggal, 4-10 dd pd/dibelakang equator
b. Tumor multiple, 4-10 dd pd/dibelakang equator

Group III:
a. Ada lesi anterior ke equator
b. Tumor tunggal > 10 dd dibelakang equator

Group IV
a. Tumor multiple, beberapa > 10 dd
b. Perluasan lesi anterior

Group V
a. Tumor menempati lebih dari setengah retina
b. Vitreus menyebar

Penatalaksanaan Medis

Tergantung pada ukuran dan lokasi tumor
Tumor kecil:
a. Cryotherapy
b. Laser terapi
c. Plaque radioterapi
d. Thermoterapi

Tumor yang lebih besar:
a. kemoterapi
b. radioterapi
c. Pembedahan

Jika menyerang satu mata: Keseluruhan bola mata diangkat
Jika menyerang kedua mata: bedah mikro

PENGKAJIAN
  • Riwayat Keluarga
  • Tanda dan gejala
  • Pemeriksaan fisik: Kaji reaksi pupil terhadap cahaya, ukuran dan leukoria
  • Evaluasi strabismus

Masalah Keperawatan
  • Perubahan sensori: visual
  • Gangguan integritas kulit
  • Kecemasan pada orang tua
  • Gangguan citra tubuh

Tindakan untuk mengurangi efek samping gangguan penglihatanPertahankan lingkungan yang aman dan bersih
  • Pegang dan berdiri dekat anak bila berbicara maupun bila melakukan perawatan
  • Ajarkan dengan menggunakan sentuhan
  • Batasi seperangkat alat-alat yang ada disekitarnya

Friday, May 1, 2009

PRINSIP-PRINSIP PERAWATAN SELANG DADA

INDIKASI :

* Pneumotoraks <20%>
* Pneumotoraks >20%
* Hematotoraks
* Hematopneumotoraks
* Empyema toraks
* Fluidotoraks yang tak bisa diatasi dengan pungsi

KEGUNAAN

Terapi : drenase cairan rongga pleura.
Pemantauan : untuk mengetahui ada/tidaknya tindakan lebih lanjut (torakotomi).

MACAM :

Sistem 1 botol
Sistem 2 botol
Sistem 3 botol

dengan/tanpa Continuous suction

Teknik Pemasangan
Persiapan
Duk steril
Alkohol dan betadin
Lidocaine 2%
Jarum suntik + spetnya
Benang silk no 1 + jarum
Klem toraks (Rumel)
Gunting
Needle holder
Forceps jaringan
Pisau operasi no 15
Slang dada (dren toraks)
Sarung tangan
Persetujuan operasi

Teknik Pemasangan :
Pada spatium inter costal IV / V di Linea axillaris anterior.
Disinfeksi medan operasi dengan alkohol dan betadin.
Tutup dengan duk steril.
Dilakukan lokal anestesi.
Insisi kulit di atas costa V atau VI di l. axillaris anterior.
Melalui insisi, dinding toraks ditembus dengan klem dengan cara menyusuri margo superior costa sampai ke cavum pleura.
Dren toraks dipasang dan dilakukan fiksasi dengan jahitan matras yang telah disiapkan.
Tutup luka operasi dengan kasa steril.
Dren toraks dihubungkan dengan botol WSD, memakai slang transparan.

Operasi selesai.

Perawatan WSD :
Posisi pasien ½ duduk (+ 300)
Letakkan botol WSD pada posisi yang mudah diamati.
Letak slang WSD dibuat rapi dan jangan menyilang badan. Slang harus bersih dari kotoran/debris.
Ujung slang harus terendam dalam air (sistem 1 botol).

Fungsi WSD baik bila:
Sistem 1 botol: adanya undulasi di slang WSD yg sesuai dengan gerak pernafasan.
Sistem continuous suction : ada gelembung2 udara pada botol kontrol tekanan.
Awasi produksi dren setiap jam pada 3 jam pertama, setelah itu tiap 24 jam dan harus dicatat dan cairan dibuang, serta botol WSD dicuci dengan savlon

Kapan WSD dicabut ?
Tergantung
Indikasi Pemasangan

HEMATOTORAKS :
Produksi dren 100 cc/24 jam dan warna cairan serohemoragis.
Paru mengembang penuh baik klinis maupun radiologis.

PNEUMOTORAKS :
Paru mengembang penuh baik secara
klinis maupun radiologis
Slang WSD diklem > 12 jam
Secara klinis/radiologis,
paru tetap mengembang penuh

Cabut
Permasalahan2 yang sering timbul :
Waktu mobilisasi ke tempat lain, mis. Ke ruang foto toraks
Apabila WSD tak berfungsi
Waktu Mobilisasi ke Tempat Lain :
Hematotoraks / empyema toraks:
Dren toraks diklem
Lepaskan sambungan antara dren toraks dan slang WSD.
Ujung dren toraks bungkus dengan kasa steril.
Pneumotoraks Sebaiknya dengan WSD 1 botol.
WSD tak berfungsi :
Cek sambungan2 mungkin ada yang bocor.
Pada sistem continuous suction mungkin tutup botol tidak rapat.

PNEUMOTHORAK

Terjadi karena ada hub. terbuka antara rongga dada & dunia luar.

-->melalui luka didinding dada yang menembuspleura parietalis
-->melalui luka dijalan napas sampai menembus pleura visceralis

Yang dapat mengakibatkan paru kolaps
Waktu inspirasi udara masuk sedang pada ekspirasi udara dlm dada tetap terjadi mekanisme ventil/tension.
Paru makin kolaps
Penanganannya:Segera pungsi pada sic II sering dilanjutkan WSD.

HEMATOTHORAK

Sering dijumpai disini perdarahan berasal dari arteri intercostalis dan jaringan paru
Dirongga dada dapat terkumpul banyak darah tanpa gejala menyolok
Kadang gejala dan tanda yang nampak anemis dan syok hipovolemik

TINDAKAN :
- pasang infus
-transfusi
-pungsi /WSD

TAMPONADE JANTUNG

Tertimbunnya darah pada cavum pericardium.
Gejalanya: Tekanan arteri turun
Peningkatan tekanan vena leher
Bunyi jantung menjauh

TINDAKAN: -ABC

-Pasang infus
-Oksigen
-Pericardiosintesis

Tuesday, March 3, 2009

PENATALAKSANAAN TRAUMA THORAK

Sering tidak berdiri sendiri
Sering bersama dengan:
* trauma capitis
* trauma abdomen
* trauma ekstremitas.
Tindakan Untuk Menolong Penderita Sering Bukan Tindakan Operatif.

Tindakan tersebut seperti :
-Membebaskan jalan napas
-Aspirasi pleura
-Menutup sementara pleura.

Berdasarkan penyebab
Trauma tumpul : akibat KLL
Trauma tajam : luka tikam, luka tembak

Tindakan darurat yang diperlukan:
A. (Air Way ) = bebaskan jalan napas
B. (Breathing)
C. (circulation)

Trauma thorak sering menyebabkan :
Fraktur costa (patah tulang iga) Bisa tunggal atau multipel
Diagnosa patah tulang iga ditentukan atas dasar gejala dan tanda nyeri lokal .
Di RS --> Rontgen
Patah tulang iga tunggal &multipel yang masih memadai ditangani dengan pembaerian ANALGETIKA /anesthesi lokal
Pemberian plester sudah jarang dipakai.
Biasanya penyembuhan tulang iga cepat.

FLAIL CHEST
Terdapat fraktur iga multipel dengan garis fraktur lebih dari satu.
Menimbulkan pernapasan paradoksal.

PENANGANAN PRA RS:

-A B C
-Pasang infus
-Analgetik
-Oksigen
-Rujuk

Di Rumah sakit bila perlu dipasang ventilator


ALAT BANTUAN PERNAFASAN VENTILATOR

Ventilator Mekanik
suatu alat yang mampu membantu (sebagian) atau mengambil alih (seluruh) fungsi pertukaran gas paru untuk mempertahankan hidup.

Sejarah Ventilator
Sebelum 1900: Penggunaaan respirator u/ tujuan penelitian.
  • 1900 CPAP ditemukan u/ operasi bedah thoraks untuk mencegah pneumothorax
  • 1930 Poliomyelitis menyebabkan EMERSON mengembangkan apa yg disebut paru-paru besi - “Iron Lung”
  • 1940 Penemuan Intermitten Positive Pressure Breath (IPPB) untuk “lung inflation therapy” dan short term ventilation
  • 1950 Epidemi Polio di Denmark mencetuskan dimulainya produksi lebih dari 20 ventilator oleh perusahaan u/ memenuhi kebutuhan pasar.

Ventilator ~ ventilasi
Ventilasi = keluar masuknya udara dari atmosfer ke alveolus
Ventilator = menghantarkan (delivery) udara/gas TEKANAN POSITIF ke dalam paru
Ventilasi semenit = TV x RR (frekuensi nafas)
TV = 5-7 cc/kgBB
RR = 10 –12 kali/menit
Compliance = Pengukuran dari elastisitas paru dan dinding dada
Nilai compliance mengekspresikan adanya perubahan volume akibat perubahan dari tekanan (pressure)

TUJUAN KLINIS / INDIKASI

GAGAL NAFAS HIPOKSEMIK:
Reverse hypoxemia dgn pemberian PEEP dan konsentrasi O2 tinggi (ARDS,edema paru atau pneumonia akut)

GAGAL NAFAS VENTILASI:
Reverse acute respiratory acidosis
  • Koma : trauma kepala, encefalitis, overdosis, CPR
  • Trauma med spinalis, polio, motor neuron disease
  • Polineuropati, miastenia gravis
  • Anesthesia (relaksan u/operasi, tetanus, epilepsi)

STABILISASI DINDING DADA:
Flail chest

MENCEGAH ATAU MENGOBATI ATELEKTASIS

Kriteria untuk bantuan ventilasi mekanik

PARAMETER INDIKASI VENTILASI NORMAL RANGE
Mekanik (RR) > 35x/m 10-20x/m
TV (cc/kg) < 5 5-7
Oksigenasi (PaO2- mmHg) < 60 dg FiO2 0,6 75-100 (air)
P(A-aDO2) mmHg > 350 25-65(FiO2 1.0)
Ventilasi (PaCO2-mmHg) > 60 35-45

TUJUAN FISIOLOGIS
MEMPERBAIKI VENTILASI ALVEOLAR
MEMPERBAIKI OKSIGENASI ALVEOLAR (FiO2, FRC,V'A)
MEMBERIKAN PUMP SUPPORT ( ME WOB)

Consensus conference on mechanical ventilation, Int Care Med 1994, 20:64-79

Jenis Jenis Ventilator
pembagian berdasarkan cara penghentian inspirasi :
Time Cycle
Pressure Cycle : sering u/ pediatrik dan neonatus
Volume Cycle : paling banyak di ICU
Ekspirasi bersifat pasif

Mode Ventilator
Control Ventilation
Assisted Control Ventilation
(S)IMV : (Sinchronized) Intermitent Mandatory Ventilator
CPAP : Continous Positive Airway Pressure

Komponen Setting Ventilator
FiO2 : fraksi oksigen
Volume Tidal : 5 – 7 cc/kgBB
Frekuensi Napas : 10 – 12 x/mnt
I : E Ratio (Rasio Inspirasi : Ekspirasi)
PEEP : Positive End Exspiracy Pressure, (3 – 5 cmH2O)

Pemantauan dan Perawatan
Faktor Mekanik
Pemasangan Ventilator
Pemantauan dan Perawatan Pasien

Pemantauan Faktor Mekanik
Kabel sumber tenaga (PLN)
Tekanan gas sentral
Humidifier baik dan terisi air
Perawatan ET
Sirkuit : kebocoran, tertekuk

Pemantauan Faktor Mekanik
Kabel sumber tenaga (PLN)
Tekanan gas sentral
Humidifier baik dan terisi air
Perawatan ET
Sirkuit : kebocoran, tertekuk

Setting Ventilator
Parameter :
Frekuensi napas
Volume tidal
Minute volume
Peak airway pressure
Fraksi oksigen
I : E rasio
PEEP
Suhu humidifier
Sistem Alarm

Komplikasi Ventilasi Mekanik
Kardiovaskuler : penurunan cardiac output, disritmia.
Pulmonal
Gangguan keseimbangan cairan
Infeksi
Komplikasi akibat efek pemasangan.

Komplikasi Pulmonal
Barotrauma
Atelektasis
Kerusakan trakea
Oksigen toxicity
Gangguan weaning (penyapihan)
Hypercapnia
Hypocapnia

Pemantauan Pasien
Pemeriksaan fisik
Alih baring
X foto thoraks
Saturasi oksigen
BGA : Blood Gas Analyze
Suction berkala
Komplikasi

Perawatan pasien dengan ventilator
Prinsip
Mencukupi kebutuhan oksigen
Memperbaiki pengeluaran CO2
Mencegah penyulit

Masalah Keperawatan
Tidak efektifnya pola nafas
Tidak efektifnya bersihan jalan nafas
Gangguan pertukaran gas

Pola nafas inefektif
Tx
Cek tekanan cuff ET
Monitor : ET, Sat O2, Ventilasi, Klinis px.
Mempertahankan PEEP
Menghindari penumpukan air di sirkuit
Monitor weaning pasien

Inefektif bersihan jalan nafas
Tx
Suction berkala
Atur posisi
Fisioterapi dada

masalah keperawatan (lanjutan)
Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi
Resiko kelebihan cairan
Resiko injury (perdarahan GI)
Resiko infeksi pulmonari

masalah keperawatan (lanjutan)
Cemas dan takut
Gangguan komunikasi

PENATALAKSANAAN PENDERITA DENGAN HIV DAN AIDS

Pengertian HIV

HIV yang merupakan singkatan dari Human Immunodeficiency Virus yaitu virus penyebab AIDS.

HIV terdapat di dalam cairan tubuh seseorang yang telah terinfeksi seperti di dalam darah, air mani atau cairan vagina.

Sebelum HIV berubah menjadi AIDS, penderitanya akan tampak sehat dalam waktu kira-kira 5 sampai 10 tahun.

Walaupun tampak sehat mereka dapat menularkan HIV pada orang lain melalui hubungan seks yang tidak aman, tranfusi darah atau pemakaian jarum suntik secara bergantian.

Cara penularan

HIV dapat ditularkan melalui 3 cara :

  • Melalui hubungan seksual dengan seseorang yang sudah terinfeksi HIV.
  • Melalui tranfusi,penggunaan narkoba suntikan secara bersama-sama dan kegiatan medis dengan alat tusuk dan iris yang tercemar HIV.
  • Dari ibu ke janin / bayinya selama kehamilan, persalinan atau menyusui.

Mitos yang salah bahwa hal – hal dibawah ini bisa menularkan HIV

  • Jabat tangan
  • Sentuhan
  • Ciuman pipi
  • Pelukan
  • Berenang bersama
  • Menggunakan peralatan makan/minum yang sama
  • Gigitan nyamuk
  • Memakai jamban yang sama atau tinggal serumah.
Cara mengetahui seseorang menderita HIV

Hanya melalui penglihatan,kita tidak tahu apakah seseorang sudah terinfeksi HIV atau tidak.

Pada kenyataanya, pengidap HIV terlihat sangat sehat.

Satu-satunya cara untuk mengetahui hal ini adalah melalui tes darah HIV.

Biasanya tidak ada gejala khusus pada orang-orang yang terinfeksi oleh HIV dalam waktu 5-10 tahun. Setelah itu mulai berkembang dan menunjukkan tanda-tanda atau gejala – gejala umum dibawah :

  • demam berkepanjangan
  • selera makan hilang
  • diare terus menerus tanpa sebab
  • pembengkakan kelenjar pada leher dan/ketiak
  • berat badan menurun drastic

Pengertian AIDS

AIDS yang merupakan kependekan dari Acquired Immune Deficiency Syindrome adalah sindroma menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan oleh HIV.

Orang yang mengidap AIDS amat mudah tertular oleh berbagai macam penyakit, karena sistem kekebalan di dalam tubuhnya telah menurun.

Sampai sekarang belum ada obat yang dapat menyembuhkan AIDS.

Agar dapat terhindar dari HIV/AIDS, kita harus tahu bagaimana cara penularannyadan pencegahannya.

Tanda dan gejala AIDS

Pengidap HIV kekebalan tubuhnya semakin lama semakin menurun dan selanjutnya akan menjadi AIDS dengan gejala :

  • radang paru-paru
  • radang saluran pencernaan
  • kanker kulit
  • radang karena jamur di mulut dan kerongkongan
  • gangguan syaraf pusat.

Pencegahan

Cara pencegahan yang sering digunakan dengan istilah ABCD dimana...

A = Abstinen, Jahuilah hubungan seks, berganti ganti pasangan

B = Befaithful, Bersikap saling setia, dengan pasangannya

C = Condom Use, Cegah dengan menggunakan KONDOM

D = Drugs, Hindari …. Pemakaian jarum suntik secara berulang-berulang

Monday, March 2, 2009

CEDERA SPINAL DAN KORD SERVIKAL

Cedera tulang belakang servikal secara tradisional dibagi atas fraktura dan dislokasi tulang belakang servikal atas serta bawah. Cedera tulang belakang servikal atas adalah fraktura atau dislokasi yang mengenai basis oksiput hingga C2. Cedera tingkat ini jarang pada dewasa, merupakan kurang dari 25% fraktura dan dislokasi pada tulang belakang servikal. Pada anak- anak, kebanyakan cedera tulang belakang servikal adalah terjadi pada tingkat atas. Cedera tulang belakang servikal bawah termasuk fraktura dan dislokasi ruas tulang belakang C3 hingga C7. Ruas tulang belakang C5 adalah yang tersering mengalami fraktura.

Cedera pada tulang belakang tingkat bawah lebih sering berkaitan dengan cedera kord spinal, mungkin karena rasio daerah potongan melintang kanal spinal terhadap kord spinal lebih kecil pada tulang belakang servikal bawah dibanding atas. Karena anatomi dan catu vaskuler kord spinal yang unik, berbagai sindroma tidak lengkap dapat dijumpai pada cedera kord spinal servikal. Pada sindroma ini, fungsi sensori dan motor tertentu terganggu atau hilang, namun lainnya tetap utuh.

1. Sindroma kord sentral
paling sering dijumpai setelah suatu cedera hiperekstensi servikal. Karena sebab tertentu seperti keadaan mekanik dan catu vaskuler dari kord, bagian sentral dapat mengalami kontusi walau bagian lateral hanya mengalami cedera ringan. Khas pasien mengeluh disestesi rasa terbakar yang berat pada lengan, mungkin karena kerusakan serabut spinotalamik, mungkin saat ia menyilang komisura anterior. Pemeriksaan fisik menunjukkan kelemahan lengan, dengan utuhnya kekuatan ekstremitas bawah. Sebagai tambahan, sensasi nyeri dan suhu hilang dalam distribusi seperti tanjung. Semua lesi yang menyebabkan cedera primer terhadap kord spinal sentral dapat menimbulkan gambaran defisit serupa, seperti siringo- mielia, tomor kord spinal intrinsik, dan hidromielia. Sindroma ini secara jarang dapat terjadi pada kord spinal bawah (konus medularis).

2. Sindroma arteria spinal anterior
terjadi karena arteria ini mencatu substansi kelabu dan putih bagian ventrolateral dan posterolateral kord spinal. Kerusakan arteria ini berakibat sindroma klinis paralisis bi- lateral dan hilangnya sensasi nyeri serta suhu dibawah tingkat cedera, namun sensasi posisi dan vibrasi (fungsi kolom posterior) utuh. Lesi arteria ini bisa karena cedera tulang belakang, neoplasma yang terletak anterior (biasanya metastasis) dan cedera aortik.

3. Sindroma Brown-Sequard, pada bentuk yang murni, menunjukkan akibat dari hemiseksi kord spinal. Defisit neurologis berupa hilangnya fungsi motor ipsilateral, sensasi vibrasi dan posisi. Sebagai tambahan, sensasi nyeri serta suhu kontralateral hilang. Luka tembus dan peluru dapat menimbulkan sindroma Brown-Sequard 'lengkap', namun manifestasi tak lengkap sindroma ini tampak dengan berbagai ragam pada lesi lain, termasuk trauma dan neoplasma.

4. Sindroma kolom posterior
terjadi bila kolom posterior rusak secara selektif, berakibat hilangnya sensasi vibrasi dan proprioseptif bilateral dibawah lesi. Temuan ini tersering dijumpai sekunder terhadap kelainan sistemik (neurosifilis), namun secara jarang dijumpai setelah trauma kord spinal.

Sasaran utama pengelolaan gawat darurat awal pada pasien dengan fraktura dan dislokasi tulang belakang leher adalah untuk mencegah cedera sekunder terhadap kord spinal maupun akar saraf. Ini penting bahkan pada pasien yang sudah mengalami transeksi fungsional kord spinal seketika pada tingkat fraktura. Utuhnya bahkan hanya sebuah segmen kord spinal diatas tingkat cedera dapat membuat perbedaan yang sangat besar dalam rehabilitasi jangka panjang pada pasien dengan cedera kord spinal permanen.

Immobilisasi leher saat resusitasi atau penilaian medikal awal sangat menentukan. Ini sering terabaikan pada pasien pada keadaan akut dengan cedera berganda dan fungsi vital yang tak stabil. Petugas medis gawat darurat terlatih untuk melakukan immobilisasi terhadap pasien yang mengalami cedera tersangka. Kantung pasir atau kolar servikal kaku adalah jenis yang biasa digunakan petugas sejak tempat kecelakaan. Apapun jenis immobilisasi yang dilakukan, ia tetap dipertahankan ditempatnya hingga tulang belakang servikal dinilai dengan radiograf lateral. Bila fraktura tulang belakang servikal dijumpai, stabilitas fraktura ditentukan.

Semua pasien dengan fraktura tulang belakang servikal yang diperkirakan tak stabil harus segera diletakkan dalam fiksasi skeletal eksternal dan traksi dengan ring halo atau kaliper (tong). Beban traksi bervariasi, namun umumnya ditentukan sekitar 3-5 pon per ruas tulang belakang servikal. Jadi sebesar 15-25 pon digunakan untuk fraktura C5 tak stabil. Bila sinar-x ulang menunjukkan reduksi tak lengkap dari pergeseran fraktura atau subluksasi, maka beban tambahan diberikan hingga fraktura-dislokasi berkurang (maksimum 5kg per tingkat diatas segmen yang cedera).

Pada kebanyakan fraktura-dislokasi tulang belakang servikal akan dapat diimmobilisasi dan direduksi dengan efektif memakai fiksasi skelet eksternal dan traksi. Manipulasi leher berlebihan juga berakibat cedera kord spinal permanen disaat resusitasi awal pada pasien cedera. Walau mempertahankan jalan nafas adalah vital, ekstensi yang berlebihan leher disaat intubasi sebelum fraktura servikal dipastikan harus dicegah.

Bila jalan nafas artifisial diperlukan sebelum film servikal dibuat, maka dilakukan krikotiroidotomi atau intubasi nasal. Namun intubasi bukan kontra indikasi pada pasien dengan fraktura tulang belakang servikal asal dilakukan oleh petugas yang berpengalaman, sebaiknya seorang ahli anestesi terlatih. Pegangan penting atas ada serta beratnya cedera tulang belakang servikal adalah pelebaran ruang jaringan lunak prevertebral.

Cedera dan ketidakstabilan nyata mungkin tampil dengan tanpa kelainan tulang yang jelas pada foto polos. Pada keadaan ini bukti cedera hanyalah pelebaran ruang retrofaringeal atau retro- trakheal. Ruangan retro faringeal membentang dari pinggir posterior bayangan udara faringeal ke aspek antero- inferior dari aksis. Pengukuran melebihi 6-7mm pada anak dan dewasa adalah abnormal. Ruang retrotrakheal ditentukan oleh ruangan jaringan lunak antara batas posterior bayangan udara trakheal keaspek antero- inferior badan ruas tulang belakang C6. Walau ruang ini bervariasi menurut usia dan pernafasan, pengukuran yang melebihi 14mm pada anak dan 22mm pada dewasa adalah abnormal, cedera tulang belakang leher yang bermakna harus diduga. Penting untuk menampilkan seluruh ruas tulang belakang servikal pada foto lateral pada pasien yang mengalami trauma yang jelas. Sering foto pertama tidak memadai menampilkan C7 karena bertumpuk dengan bahu.

Kerusakan kord spinal irreversibel secara sekunder dapat diakibatkan oleh manipulasi leher pada pasien dengan fraktura atau dislokasi C7 tak stabil disaat C7 tak tampak pada foto pertama. Ada beberapa indikasi untuk pemasangan traksi leher pada pengelolaan awal cedera tulang belakang servikal:

  1. Immobilisasi tulang belakang servikal pada pasien dengan fraktura tak stabil. 2. Reduksi dislokasi atau subluksasi.
  2. Distraksi foramina intervertebral pada pasien dengan kompresi radikuler.
  3. Mengurangi nyeri yang diakibatkan cedera jaringan lunak bersangkutan.

Terdapat dua indikasi yang jelas untuk tindakan operasi gawat darurat atas fraktura dan dislokasi tulang belakang servikal:

1. Defisit neurologis progresif.
2. Adanya cedera kord spinal tak lengkap.

Pada keadaan tersebut operasi hanya dilakukan bila terdapat kompresi ekstrinsik atas kord spinal yang tampak pada mielografi. Intervensi bedah gawat darurat untuk stabilisasi atau reduksi jarang diperlukan karena biasanya dapat dicapai dengan traksi skelet. Walau dilaporkan perbaikan neurologis nyata pada pasien dengan kehilangan fungsi neurologis lengkap dibawah tingkat cedera yang mendapat operasi dekompresi dalam 24 jam setelah cedera, umumnya tidak diyakini bahwa intervensi bedah emergensi selalu diperlukan pada pasien yang menampakkan kehilangan fungsi neurologis segera dan lengkap dibawah tingkat fraktura pada saat kecelakaan.

A. DISLOKASI ATLANTO-OKSIPITAL (DAO)
Ditemukan lebih banyak dibanding masa-masa sebelumnya, karena membaiknya resusitasi ditempat kecelakaan dan cepatnya transportasi ke UGD.

MEKANISME CEDERA
Biasa mengenai penumpang mobil atau pejalan kaki yang mengalami kecelakaan lalu lintas. Sendi kranioservikal terdiri dari dua kelompok ligamen yang terpisah. Tengkorak melekat dengan C1 melalui ligamen kapsul sendi, ligamen membran kapsul sendi AO anterior dan posterior, dan dua ligamen AO lateral. Ligamen krusiat (berstruktur longitudinal yang berhubungan dengan ligamen transvers atlas) memberikan stabilitas tambahan pada sendi ini.

Harus diingat bahwa kelompok kedua yang berjalan dari oksiput menuju C2 memberikan struktur penyokong yang utama pada sendi kranioservikal ini. Pada ligamen ini, dimana termasuk ligamen dental apikal, pasangan ligamen alar serta membran tektorial, juga membatasi gerakan ekstrim pada sendi kraniovertebral. Terutama, hiperekstensi dibatasi oleh membran tektorial dan fleksi lateral oleh ligamen alar (fleksi berlebihan dibatasi oleh kontak proses odontoid dengan basion).

Walau dislokasi kranium kedepan terhadap tulang belakang servikal terjadi setelah pemotongan ligamen alar serta membran tektorial, DAO traumatika mungkin mencakup cedera ligamen yang lebih luas. Hiperekstensi akan menyebabkan robeknya membran tektorial, dan cedera ligamen alar disebabkan oleh komponen fleksi lateral yang ekstrim. Terpisahnya elemen posterior aksis dan atlas, mungkin diakibatkan oleh hiperfleksi, tampak pada beberapa pasien.

DAO tampaknya mempunyai insidens yang tinggi pada kelompok pediatrik yang mungkin ada kaitannya dengan insidens yang relatif tinggi akan kecelakaan mobil- pedestrian, dengan immaturitas sendi kraniovertebral, atau keduanya. Hubungan kranioservikal secara keselu- ruhan, pada anak tampaknya kurang stabil dibanding dewasa karena dua faktor.

Pada anak-anak dataran sendi diantara kranium dengan atlas hampir horizontal. Perkembangan kondilus oksipital terjadi bersama dengan maturasi yang akan memungkinkan sendi kranioservikal berfungsi lebih stabil pada bidang yang lebih vertikal. Selanjutnya kondilus oksipital pada bayi dan anak tidak terletak lebih dalam terhadap fossa faset superior atlas. Dengan maturasi, massa kondiler bertambah dan fossa dari faset superior C1 berkembang lebih lengkap, dengan akibat persendian yang lebih stabil.

GAMBARAN KLINIS
Disfungsi neurologis akibat DAO bisa dibagi kedalam lesi yang mengenai batang otak, saraf kranial, kord spinal atas, dan akar saraf spinal. Banyak pasien yang disertai cedera kepala hingga memperrumit gambaran neurologis.

Cedera batang otak walau sering pada DAO, tidak selalu tampil lengkap. Postur deserebrasi atau adanya kehilangan fungsi batang otak lengkap mungkin tampak, walau sulit untuk memastikan apakah seluruhnya akibat DAO pada pasien yang disertai cedera kepala.

Kerusakan piramidal diskreta mungkin mengakibatkan paraparesis. Ketidakstabilan kardiopulmoner berakibat bradikardia, respirasi yang irreguler, atau bahkan apnea dapat terjadi setelah kerusakan batang otak. Kerusakan batang otak berat paling mungkin sebagai penyebab kematian yang tinggi. Dislokasi kranioservikal mungkin berakibat avulsi atau peregangan saraf kranial bawah. Saraf kranial keenam, sembilan hingga duabelas, adalah yang terutama berrisiko.
Etiologi sebenarnya disfungsi saraf keenam sulit dipastikan pada pasien yang disertai cedera kepala. Hipertensi berat mungkin timbul bila kedua sinus karotid mengalami denervasi setelah cedera saraf kesembilan. Gangguan fungsi kord spinal atas berakibat kuadri- plegia, walaupun hemiparesis lebih sering terjadi pada pasien dengan DAO (setiap disfungsi motori mungkin juga menunjukkan cedera batang otak).

DAO traumatika mungkin juga disertai cedera akar servikal. Cedera unilateral multipel pada akar servikal bisa menyerupai lesi pleksus brakhial. Sebagai tambahan atas kerusakan neural langsung, cedera arteria vertebral mungkin menyebabkan iskemia atau disfungsi neural. DAO berhubungan dengan kompresi, robekan intimal, spasme, dan trombosis pembuluh ini. Beberapa pasien dengan DAO bisa dengan defisit yang timbul tidak sejak awal. Ini mungkin karena trauma tambahan terhadap sistema saraf (sekunder terhadap pergerakan pada tulang belakang yang tak stabil) atau terhadap masalah lain seperti iskemia akibat emboli atau trombosis pembuluh yang rusak. Pasien DAO sering dengan cedera berganda dan karenanya harus dinilai secara lengkap atas cedera lainnya.

GAMBARAN RADIOLOGIS
Diagnosis definitif DAO dibuat berdasar radiograf. Walau temuan mungkin tidak jelas, adanya hematoma retrofaringeal, yang tak selalu ada, harus mewaspadakan pemeriksa akan cedera tulang belakang serius.

Diagnosis DAO mungkin dipastikan oleh satu dari beberapa kriteria radiografik. Powers telah menentukan bahwa hubungan antara basis tengkorak dan C1 ditentukan oleh rasio panjang dua buah garis. Garis pertama adalah jarak antara basion dengan arkus posterior C1, dan yang lainnya adalah jarak antara opistion dan arkus anterior atlas. Rasio rata-rata garis I dan garis II pada orang normal adalah 0.77. Nilai yang lebih dari satu mungkin menunjukkan DAO. Rasio ini tak dipengaruhi dimensi, karenanya tidak dipengaruhi pembesaran yang mungkin terjadi pada posisi film yang tidak baku.

Rasio ini tak berlaku pada pasien dengan anomali kongenital foramen magnum atau fraktura arkus neural atlas. Rasio mungkin kurang dari satu pada pasien DAO longitudinal atau posterior. Lee menilai hubungan kraniovertebral dengan cara pasangan garis (garis-x): sebuah dari basion ketitik tengah garis C2 spinolaminer (BC2Sl) dan lainnya dari opistion ke sudut posteroinferior dens (C2O). Garis BC2Sl memotong tangensial aspek posterosuperior dens dan garis C2O memotong tangensial titik tertinggi garis C1 spinolaminer pada pasien normal yang berusia lebih dari 5 tahun. Hubungan ini berubah pada DAO. Metoda garis-x mungkin lebih sensitif dari rasio Powers. Validitasnya tergantung hubungan normal C1 dan C2, dan pada lebih dari 50% pasien dengan DAO, terdapat pemisahan abnormal dari elemen posterior C1 dan C2. DAO mungkin pula didiagnosa dengan menentukan pertambahan jarak dari lokasi paling posterior korteks mandibuler terhadap arkus anterior C1 serta proses odontoid. Posisi radiografik yang tepat, dengan film 72 sm, diperlukan untuk mendapatkan pengukuran yang benar dan hal ini tidak selalu tersedia di UGD. Metoda ini tidak bernilai pada DAO posterior, karenanya fraktura mandibuler yang tergeser dapat membatalkan pengukuran. Kaufman menyelidiki jarak dari kondilus oksipital ke faset superior C1 pada anak dan mendapatkan jaraknya tidak lebih dari 5mm. Diperkirakan bahwa bila setiap pergeseran lebih dari 5mm menunjukkan DAO.

Pengukuran ini mungkin didapat dari foto AP ataupun lateral, dan tampaknya terutama berguna dalam menentukan adanya dislokasi longitudinal. Jarak ini belum dinilai pada orang dewasa. Terdapat tiga jenis spesifik DAO: DAO jenis I terdiri dari pergeseran anterior oksiput terhadap C1, jenis II adalah distraksi longitudinal primer dengan separasi oksiput dari atlas, dan DAO jenis III bila oksiput dislokasi keposterior dari C1.

PENGELOLAAN DAN OUTCOME
Semua korban kecelakaan, terutama dengan cedera kepala dan leher, harus diduga mengalami DAO. Pengelolaan awal adalah mempertahankan ventilasi adekuat dengan tulang belakang servikal diimmobilisasi pada posisi netral. Intubasi nasotrakheal harus dilakukan pada pasien yang memerlukan perlindungan jalan nafas atau menderita distress pernafasan.

Bila gagal atau sulit, trakheo- stomi harus segera dilakukan. Terdapat kontroversi akan keamanan dan manfaat traksi pada tahap awal pengelolaan pasien. Walau ada dugaan struktur neural akan terganggu oleh traksi, hingga saat ini hal ini tak pernah dilaporkan dengan jelas. Pembagian DAO menjadi tiga jenis berguna untuk membimbing terapi awal. Pasien dengan DAO jenis II, masalah primer adalah distraksi longitudinal, karenanya traksi mungkin akan menyebabkan distraksi lebih jauh, karenanya dikontraindikasikan.

Namun pada pasien dengan DAO jenis I (anterior) dan III (posterior) dan defisit neurologis, traksi diindikasikan untuk mengembalikan struktur tulang dan untuk mendekompresi elemen neural. Resolusi yang cepat dari defisit neurologis major didapatkan untuk pasien jenis I dan III yang ditindak dengan cara ini. DAO jenis I atau III yang berdiri sendiri-sendiri tidak mutlak merupakan suatu keharusan untuk pemasangan traksi. Bila malalignmentnya hanya minimal, dan/atau defisit ringan, mungkin realignment bisa dipertanggung- jawabkan dengan pengaturan posisi secara hati-hati dengan bantuan fluoroskopi. Hanya pada keadaan mis- alignment yang parah atau defisit neurologis major, traksi bisa dipertimbangkan.

Tindakan dengan traksi harus hati-hati, beban 2.5 kg atau kurang. Beban yang berlebihan harus dicegah, pengamatan ketat radiologis dan neurologis diperlukan. Setelah adanya perbaikan dari defisit atau realignment radiografik dari tulang belakang, traksi bisa dikurangi hingga 0.5-1kg, atau bahkan dihentikan serta pasien diimmobilisasi. Setiap traksi dengan beban ringan tersebut harus dilakukan dengan alat halter servikal. Perhatian khusus diarahkan pada pemeliharaan jalan nafas yang adekuat.

Traksi bisa juga dengan tong Gardner-Wells atau ring halo. Anak memerlukan pertimbangan khusus. Setelah usia 4 tahun (dan mungkin sejak dua tahun) sudah cukup perkembangan kalvaria yang aman untuk pemasangan tong. Bila jarak interpin minimal dari tong Gardner-Wells sangat besar untuk memungkinkan fiksasi adekuat dari tengkorak yang masih kecil, tong University of Virginia mungkin merupakan alternatif.

Alat halo mungkin juga dipertimbangkan. Pin halo harus dipuntirkan dengan torsi 2kg pada pasien 2-4 tahun. Pada anak dibawah 2 tahun, kawat yang dipasang melalui 2 lubang burr mungkin digunakan untuk traksi. Teknik ini memerlukan pengamanan kulit dengan meletakkan bantalan antara kawat dan kulit. Walau beberapa pasien berhasil dengan baik dengan tindakan traksi serta immobilisasi lama, sisanya tetap tidak stabil dan memerlukan fusi terbuka.

Cedera yang primer pada ligamen, seperti DAO, sering tetap tak stabil setelah terapi konservatif, karenanya dianjurkan sebagai tindakan definitifnya adalah fusi posterior sesegera keadaan medikal memungkinkan. Fusi dari oksiput hingga C1 dan C2 (terkadang C3) diperlukan walau nyatanya hal ini mungkin mengurangi mobilitas tulang belakang servikal sekitar 50%. Disukai fusi dengan fiksasi kawat dan tandur tulang. Penggunaan kawat dan metil metakrilat adalah metoda alternatif, dan walau teknik ini memerlukan pemasangan benda asing, fiksasi internal dapat segera dilakukan. Pasien yang hidup setelah DAO dalam 48 jam pertama mempunyai outcome yang baik. Hingga seperempat mungkin dengan neurologis intak, dan 25% lainnya hanya dengan defisit minor.

CEDERA MATA

Struktur wajah dan mata sangat sesuai untuk melindungi mata dari cedera.
Bola mata terdapat di dalam sebuah rongga yang dikelilingi oleh bubungan bertulang yang kuat. Kelopak mata bisa segera menutup untuk membentuk penghalang bagi benda asing dan mata bisa mengatasi benturan yang ringan tanpa mengalami kerusakan.
Meskipun demikian, mata dan struktur di sekitarnya bisa mengalami kerusakan akibat cedera, kadang sangat berat sampai terjadi kebutaan atau mata harus diangkat.
Cedera mata harus diperiksa untuk menentukan pengobatan dan menilai fungsi penglihatan.

LUKA TUMPUL
Suatu benturan tumpul bisa mendorong mata ke belakang sehingga kemungkinan merusak struktur pada permukaan (kelopak mata, konjungtiva, sklera, kornea dan lensa) dan struktur mata bagian belakang (retina dan persarafan). Benturan tumpul juga bisa menyebabkan patah tulang di sekeliling mata.
Dalam 24 jam pertama setelah terjadinya cedera, darah yang merembes ke dalam kulit di sekitar mata biasanya menyebabkan memar (kontusio), biasanya disebut mata hitam. Jika suatu pembuluh darah di permukaan mata pecah, maka permukaan mata akan menjadi merah. Perdarahan ini biasanya bersifat ringan.



Kerusakan pada mata bagian dalam seringkali lebih serius dibandingkan kerusakan pada permukaan mata. Perdarahan di dalam bilik anterior (hifema traumatik) merupakan masalah yang serius dan harus segera ditangani oleh dokter spesialis mata.
Perdarahan berulang dan peningkatan tekanan di dalam mata bisa menyebabkan kornea menjadi merah sehingga penglihatan menjadi berkurang dan meningkatkan resiko terjadinya glaukoma.
Darah bisa merembes ke dalam mata, iris bisa mengalami robekan atau lensa bisa mengalami pergeseran. Perdarahan bisa terjadi di dalam retina, sehingga retina terlepas dari jaringan di bawahnya. Pada awalnya, lepasnya retina menyebabkan timbulnya gambaran kilatan cahaya atau bentuk tidak beraturan yang melayang-layang serta menyebabkan pandangan kabur, kemudian penglihatan bisa menurun secara tajam. Pada cedera yang hebat, bola mata bisa mengalami robekan.
Kompres dingin bisa membantu mengurangi pembengkakan dan menghilangkan nyeri pada mata hitam. Pada hari kedua, kompres hangat bisa membantu tubuh dalam menyerap darah yang telah terkumpul. Jika kulit di sekitar mata atau kulit pada kelopak mata mengalami robekan, bisa dilakukan penjahitan. Cedera yang mengenai saluran air mata harus diatasi dengan pembedahan mata.
Jika terjadi robekan pada mata, diberikan obat pereda nyeri, obat untuk menjaga agar pupil tetap melebar dan obat untuk mencegah infeksi. Biasanya digunakan perisai logam untuk melindungi mata dari cedera lebih lanjut. Kerusakan yang serius bisa menyebabkan penurunan fungsi penglihatan meskipun telah dilakukan pembedahan.
Penderita yang mengalami perdarahan di dalam mata akibat trauma harus menjalani tirah baring. Diberikan obat untuk mengurangi peningkatan tekanan di dalam mata (misalnya asetazolamid). Untuk mengurangi perdarahan kadang diberikan asam aminokaproat. Obat-obat yang mengandung aspirin harus dihindari karena bisa menyebabkan meingkatnya perdarahan di dalam mata.

BENDA ASING
Cedera mata yang paling sering mengenai sklera, kornea dan konjungtiva disebabkan oleh benda asing. Meskipun kebanyakan bersifat ringan, tetapi beberapa cedera bisa berakibat serius (misalnya luka tembus pada kornea atau infeksi akibat sayatan maupun cakaran pada kornea).
Penyebab tersering dari cedera pada permukaan mata adalah lensa kontak. Lensa yang tidak terpasang dengan benar, lensa yang terpasang terlalu lama, lensa yang tidak dilepas ketika tidur, lensa yang tidak dibersihkan dan melepaskan lensa dengan sekuat tenaga bisa menimbulkan goresan pada permukaan mata.
Penyebab cedera permukaan mata lainnya adalah pecahan kaca, partikel yang terbawa angin dan ranting pohon. Pegawai yang di tempat kerjanya cenderung banyak memiliki pecahan-pecahan kecil yang berterbangan di udara, sebaiknya menggunakan kacamata pelindung.
Setiap cedera pada permukaan mata biasanya menyebabkan nyeri dan menimbulkan perasaan ada sesuatu di mata. Gejala lainnya adalah kepekaan terhadap cahaya, mata merah, perdarahan dari pembuluh darah pada permukaan mata atau pembengkakan mata dan kelopak mata. Penglihatan bisa menjadi kabur.
Benda asing di mata harus dikeluarkan. Agar benda asing terlihat lebih jelas dan untuk melihat adanya goresan pada permukaan mata, bisa diberikan obat tetes mata khusus yang mengandung zat warna fluoresensi. Kemudian diberikan tetes mata yang mengandung obat bius untuk mematikan rasa di permukaan mata. Dengan menggunakan alat penerangan khusus, benda tersebut bisa dibuang oleh dokter. Benda asing seringkali bisa diambil dengan menggunakan kapas steril yang lembab atau kadang dengan mengguyur mata dengan air yang steril.
Jika benda asing menyebabkan goresan kecil pada permukaan kornea, diberikan salep antibiotik selama beberapa hari. Goresan yang lebih besar memerlukan pengobatan tambahan. Pupil diusahakan tetap melebar dengan pemberian obat, lalu dimasukkan antibiotik dan mata ditutup dengan plester. Sel-sel pada permukaan mata berregenerasi dengan cepat. Meskipun goresannya besar, penyembuhan akan berlangsung selama 1-3 hari. Jika benda asing telah menembus ke lapisan mata yang lebih dalam, segera hubungi dokter spesialis mata.

LUKA BAKAR
Jika terkena panas atau bahan kimia yang kuat, kelopak mata akan segera menutup sebagai reaksi refleks untuk melindungi mata dari luka bakar. Karena itu hanya kelopak mata yang mungkin mengalami luka bakar, meskipun panas yang hebat juga bisa menyebabkan luka bakar pada mata. Beratnya cedera, hebatnya nyeri dan gambaran kelopak mata tergantung kepada dalamnya luka bakar.
Luka bakar karena bahan kimia bisa terjadi jika suatu bahan iritatif masuk ke dalam mata. Bahan iritatif ringanpun bisa menyebabkan nyeri dan kerusakan pada mata. Karena nyerinya hebat maka penderita cenderung menutup kelopak matanya sehingga bahan kimia berada lebih lama di dalam mata.
Untuk mengobati luka bakar pada kelopak mata, daerah yang terkena dicuci dengan larutan steril dan diolesi dengan salep antibiotik atau kasa yang mengandung jeli petroleum. Setelah itu luka dibungkus dengan verban steril.
Luka bakar karena bahan kimia pada mata segera diatasi dengan mengucurkan air pada mata yang terkena supaya bahan kimia segera terbuang dengan bantuan aliran air.
Setelah itu diberikan obat tetes mata yang mengandung obat bius dan obat untuk melebarkan pupil. Antibiotik diberikan dalam bentuk salep. Bisa juga diberikan obat pereda nyeri per-oral (melalui mulut).
Luka bakar yang hebat harus ditangani oleh spesialis mata guna mempertahankan fungsi penglihatan dan mencegah komplikasi (kerusakan iris, perforasi mata dan kelainan bentuk kelopak mata). Meskipun telah dilakukan pengobatan terbaik, luka bakar hebat pada kornea bisa menyebabkan pembentukan jaringan paru, perforasi mata dan kebutaan.

DIABETES MELITUS

A. PENGERTIAN

DM yaitu kelainan metabolik akibat dari kegagalan pankreas untuk mensekresi insulin (hormon yang responsibel terhadap pemanfaatan glukosa) secara adekuat. Akibat yang umum adalah terjadinya hiperglikemia.

DM merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kelainan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia yang disebabkan defisiensi insulin atau akibat kerja insulin yang tidak adekuat (Brunner & Suddart).

Kadar gula darah sepanjang hari bervariasi, meningkat setelah makan dan kembali normal dalam waktu 2 jam. Kadar gula darah yang normal pada pagi hari setelah malam sebelumnya berpuasa adalah 70-110 mg/dL darah. Kadar gula darah biasanya kurang dari 120-140 mg/dL pada 2 jam setelah makan atau minum cairan yang mengandung gula maupun karbohidrat lainnya.

B. TIPE DM

1. Tipe I : Insulin Dependen Diabetes Melitus (IDDM)

2. Tipe II : Non Insulin Dependen Diabetes Melitus (NIDDM)

C. ETIOLOGI

1. Tidak diketahui secara pasti

2. Mungkin akibat faktor obesitas, usia, keturunan atau autoimun

Diabetes terjadi jika tubuh tidak menghasilkan insulin yang cukup untuk mempertahankan kadar gula darah yang normal atau jika sel tidak memberikan respon yang tepat terhadap insulin.

Penderita diabetes mellitus tipe I (diabetes yang tergantung kepada insulin) menghasilkan sedikit insulin atau sama sekali tidak menghasilkan insulin. Sebagian besar diabetes mellitus tipe I terjadi sebelum usia 30 tahun.

Para ilmuwan percaya bahwa faktor lingkungan (mungkin berupa infeksi virus atau faktor gizi pada masa kanak-kanak atau dewasa awal) menyebabkan sistem kekebalan menghancurkan sel penghasil insulin di pankreas. Untuk terjadinya hal ini diperlukan kecenderungan genetik. Pada diabetes tipe I, 90% sel penghasil insulin (sel beta) mengalami kerusakan permanen. Terjadi kekurangan insulin yang berat dan penderita harus mendapatkan suntikan insulin secara teratur.

Pada diabetes mellitus tipe II (diabetes yang tidak tergantung kepada insulin, NIDDM), pankreas tetap menghasilkan insulin, kadang kadarnya lebih tinggi dari normal. Tetapi tubuh membentuk kekebalan terhadap efeknya, sehingga terjadi kekurangan insulin relatif. Diabetes tipe II bisa terjadi pada anak-anak dan dewasa, tetapi biasanya terjadi setelah usia 30 tahun. Faktor resiko untuk diabetes tipe II adalah obesitas,/I>, 80-90% penderita mengalami obesitas. Diabetes tipe II juga cenderung diturunkan.

Penyebab diabetes lainnya adalah:

  • Kadar kortikosteroid yang tinggi
  • Kehamilan (diabetes gestasional)
  • Obat-obatan
  • Racun yang mempengaruhi pembentukan atau efek dari insulin.

D. PATOFISIOLOGI

1. Tipe I : IDDM

Hampir 90-95% islet sel pankreas hancur sebelum terjadi hiperglikemia akibat dari antibodi islet sel. Kondisi tersebut menyebabkan insufisiensi insulin dan meningkatkan glukosa. Glukosa menumpuk dalam serum sehingga menyebabkan hiperglikemia, kemudian glukosa dikeluarkan melalui ginjal (glukosuria) dan terjadi osmotik diuresis. Osmotik diuresis menyebabkan terjadinya kehilangan cairan dan terjadi polidipsi. Penurunan insulin menyebabkan tubuh tidak bisa menggunakan energi dari karbohidrat sehingga tubuh menggunakan energi dari lemak dan protein sehingga mengakibatkan ketosis dan penurunan BB. Poliphagi dan kelemahan tubuh akibat pemecahab makanan cadangan.

2. Tipe II : NIDDM

Besar dan jumlah sel beta pankreas menurun tidak diketahui sebabnya. Pada obesitas, kemampuan insulin untuk mengambil dan memetabolisir glukosa ke dalam hati, muskuloskeletal dan jaringan berkurang. Gejala hampir sama dengan DM Tipe I dengan gejala non spesifik lain (pruritus, mudah infeksi)

E. GEJALA

Gejala awalnya berhubungan dengan efek langsung dari kadar gula darah yang tinggi. Jika kadar gula darah sampai diatas 160-180 mg/dL, maka glukosa akan sampai ke air kemih. Jika kadarnya lebih tinggi lagi, ginjal akan membuang air tambahan untuk mengencerkan sejumlah besar glukosa yang hilang. Karena ginjal menghasilkan air kemih dalam jumlah yang berlebihan, maka penderita sering berkemih dalam jumlah yang banyak (poliuri). Akibat poliuri maka penderita merasakan haus yang berlebihan sehingga banyak minum (polidipsi). Sejumlah besar kalori hilang ke dalam air kemih, penderita mengalami penurunan berat badan. Untuk mengkompensasikan hal ini penderita seringkali merasakan lapar yang luar biasa sehingga banyak makan (polifagi). Gejala lainnya adalah pandangan kabur, pusing, mual dan berkurangnya ketahanan selama melakukan olah raga. Penderita diabetes yang kurang terkontrol lebih peka terhadap infeksi. Karena kekurangan insulin yang berat, maka sebelum menjalani pengobatan penderita diabetes tipe I hampir selalu mengalami penurunan berat badan. Sebagian besar penderita diabetes tipe II tidak mengalami penurunan berat badan. Pada penderita diabetes tipe I, gejalanya timbul secara tiba-tiba dan bisa berkembang dengan cepat ke dalam suatu keadaan yang disebut dengan ketoasidosis diabetikum.


Kadar gula di dalam darah adalah tinggi tetapi karena sebagian besar sel tidak dapat menggunakan gula tanpa insulin, maka sel-sel ini mengambil energi dari sumber yang lain. Sel lemak dipecah dan menghasilkan keton, yang merupakan senyawa kimia beracun yang bisa menyebabkan darah menjadi asam (ketoasidosis). Gejala awal dari ketoasidosis diabetikum adalah rasa haus dan berkemih yang berlebihan, mual, muntah, lelah dan nyeri perut (terutama pada anak-anak). Pernafasan menjadi dalam dan cepat karena tubuh berusaha untuk memperbaiki keasaman darah. Bau nafas penderita tercium seperti bau aseton. Tanpa pengobatan, ketoasidosis diabetikum bisa berkembang menjadi koma, kadang dalam waktu hanya beberapa jam. Bahkan setelah mulai menjalani terapi insulin, penderita diabetes tipe I bisa mengalami ketoasidosis jika mereka melewatkan satu kali penyuntikan insulin atau mengalami stres akibat infeksi, kecelakann atau penyakit yang serius.


Penderita diabetes tipe II bisa tidak menunjukkan gejala-gejala semala beberapa tahun. Jika kekurangan insulin semakin parah, maka timbullah gejala yang berupa sering berkemih dan sering merasa haus. Jarang terjadi ketoasidosis. Jika kadar gula darah sangat tinggi (sampai lebih dari 1.000 mg/dL, biasanya terjadi akibat stres-misalnya infeksi atau obat-obatan), maka penderita akan mengalami dehidrasi berat, yang bisa menyebabkan kebingungan mental, pusing, kejang dan suatu keadaan yang disebut koma hiperglikemik-hiperosmolar non-ketotik.

F. KOMPLIKASI

1. Hiperglikemia

- Insulin menurun

- Glukagon meningkat

- Pemakaian glukosa perifer terhambat

2. Hipoglikemia

- KGD <>

- Akibat terapi insulin

3. Ketoasidosis Diabetik : insulin menurun, lipolisis, ketonbodi, koma

4. Neuropati Diabetik : kesemutan, lemas, baal, mual, muntah, kembung

5. Nefropati Diabetik : proteinuria

6. Retinopati Diabetik : penglihatan kabur

7. Ulkus/Gangren

8. Kelainan Vaskuler

- Mikrovaskuler

- Makrovaskuler

Komplikasi jangka panjang dari diabetes

Organ/jaringan yg terkena

Yg terjadi

Komplikasi

Pembuluh darah

Plak aterosklerotik terbentuk & menyumbat arteri berukuran besar atau sedang di jantung, otak, tungkai & penis.
Dinding pembuluh darah kecil mengalami kerusakan sehingga pembuluh tidak dapat mentransfer oksigen secara normal & mengalami kebocoran

Sirkulasi yg jelek menyebabkan penyembuhan luka yg jelek & bisa menyebabkan penyakit jantung, stroke, gangren kaki & tangan, impoten & infeksi

Mata

Terjadi kerusakan pada pembuluh darah kecil retina

Gangguan penglihatan & pada akhirnya bisa terjadi kebutaan

Ginjal

Penebalan pembuluh darah ginjal

Protein bocor ke dalam air kemih

Darah tidak disaring secara normal

Fungsi ginjal yg buruk
Gagal ginjal

Saraf

Kerusakan saraf karena glukosa tidak dimetabolisir secara normal & karena aliran darah berkurang

Kelemahan tungkai yg terjadi secara tiba-tiba atau secara perlahan

Berkurangnya rasa, kesemutan & nyeri di tangan & kaki

Kerusakan saraf menahun

Sistem saraf otonom

Kerusakan pada saraf yg mengendalikan tekanan darah & saluran pencernaan

Tekanan darah yg naik-turun

Kesulitan menelan & perubahan fungsi pencernaan disertai serangan diare

Kulit

Berkurangnya aliran darah ke kulit & hilangnya rasa yg menyebabkan cedera berulang

Luka, infeksi dalam (ulkus diabetikum)

Penyembuhan luka yg jelek

Darah

Gangguan fungsi sel darah putih

Mudah terkena infeksi, terutama infeksi saluran kemih & kulit

Jaringan ikat

Gluka tidak dimetabolisir secara normal sehingga jaringan menebal atau berkontraksi

Sindroma terowongan karpal Kontraktur Dupuytren

G. PERAWATAN PREVENTIF

1. Identifikasi

Penderita membawa keterangan tentang : jenis DM, komplikasi, regimen pengobatan

2. Vaksinasi

Merupakan tindakan yang baik terutama terhadap pnemokokus dan influensa

3. Tidak merokok

4. Deteksi dan Penatalaksanaan hipertensi dan hiperlipidemia

5. Perawatan kaki

H. PRINSIP INTERVENSI

1. Diit DM

a. Syarat

Perbaiki keadaan umum

Arahkan BB normal

Pertahankan KGD normal

Tekan angiopati

Sesuaikan keadaan

Menarik dan mudah diberikan

b. Prinsip

Jumlah sesuai kebutuhan

Jadual diit tepat

Jenis : yang boleh dimakan/tidak

Komposisi Makanan

a. Karbohidrat : 50%-60%, penting untuk pemasukan kalori yang cukup

b. Protein : 10%-20%, mempertahankan keseimbangan nitrogen dan mendorong pertumbuhan

c. Lemak : 25%-30%, pemasukan kolesterol <>

d. Serat : 25 g/1000 kkal, memperlancar penyerapan gula

2. Latihan fisik

Frekuensi 2-3 kali/minggu, intensitas : ringan-sedang, waktu 30-60 menit/latihan, tipe oleh raga : aerobik (jalan, renang, joging, bersepeda)

3. Obat anti diabetik

1. OAD : Sulfodnilurea

2. Obat injeksi insulin

H. DIAGNOSA KEPERAWATAN

  1. Kekurangan volume cairan b.d diuresis osmotik
  2. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d defisiensi insulin
  3. Resiko terjadinya perubahan persepsi sensori b.d perubahan kimia endogen
  4. Kelelahan b.d perubahan kimia tubuh
  5. Resiko terhadap cedera b.d penurunan sensasi taktil, pengurangan ketajaman pandangan
  6. Ketidakseimbangan nutrisi : lebih dari kebutuhan tubuh b.d masukan yang melebihi aktivitas, kurang pengeluaran
  7. Resiko terhadap ketidakpatuhan b.d kompleksitas dan kronisitas aturan perawatan/pengobatan
  8. Ketakutan b.d diagnosa DM, potensial komplikasi, injeksi insulin
  9. Resiko terhadap ketidakefektifan koping b.d penyakit kronis, aturan perawatan, masa depan yang tidak pasti
  10. Putus asa b.d menderita penyakit kronik
  11. Kurang pengetahuan tentang penyakit b.d kurang paparan, kurang familiar terhadap sumber informasi

Masalah Kolaborasi :

  1. PK : Diabetes Ketoasidosis (DKA)
  2. PK : Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik (HHNK)
  3. PK : Hipo/Hiperglikemia
  4. PK : Sepsis
  5. PK : Penyakit Vaskular
  6. PK : Neuropati
  7. PK : Nefropati
  8. PK : Retinopati
  9. PK : Asidosis Metabolik


DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddart, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Vol 3, Edisi 8, Penerbit RGC, Jakarta.

Carpenito, L.J., 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, edisi 2, Penerbit EGC, Jakarta.

Carpenito, L.J., 2000, Diagnosa Keperawatan, Aplikasi pada Praktik Klinis, edisi 6, Penerbit EGC, Jakarta.

Johnson, M.,et all, 2000, Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition, IOWA Intervention Project, Mosby.

Mc Closkey, C.J., Iet all, 1996, Nursing Interventions Classification (NIC) econd Edition, IOWA Intervention Project, Mosby.

NANDA, 2002, Nursing Diagnoses : Definitions & Classifications.

NANDA, 2002, Diagnosis Keperawatan NANDA : Definisi dan Klasifikasi, PSIK FK UGM, Yogyakarta.

www.medicastore.com, 2004, Informasi tentang penyakit : Diabetes Melitus.